Sabtu, 03 Desember 2011

teori komunikasi interpersonal


TEORI KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Antara dua individu Mencapai persefahaman, tidak semestinya persetujuan Pembentukan hubungan Persahabatan, percintaan, kekeluargaan dll

1. Teori Tembusan Sosial
Social Penetration Theory Altman & Taylor, 1973 Proses menjalin hubungan Tahap cetek – tidak intim – peribadi Lebih banyak maklumat, lebih bersifat peribadi komunikasi Personaliti diri seperti bawang besar Perkara luaran lebih kerap dan lebih awal diceritakan Pendedahan ada resiprokal utk perkongsian  Tembusan cepat di prgkt awal, lambat di tengah Proses kebalikan tembusan

2. Teori Pengurangan Ketidakpastian
Berger (1987) Uncertainty Reduction Theory  Orang tidak dikenali – tidak pasti Mengawal kemesraan dgn menambah pengetahuan Juga dikenali sebagai teori aksiomatik Tahap-tahap dalam interaksi Fasa permulaan  Fasa peribadi Fasa exit

3. Teori Pendekatan Interaksi
Paul Watzlawick (1967) Interactional View Memahami proses membentuk dan mengekalkan hubungan interpersonal.
Interaksi sosial - Dysfunctional function keluarga
Aksiom pola komunikasi 
  • keluarga Kita tidak boleh tidak berkomunikasi
  • Manusia berkomunikasi secara analogik dan digital
  • Komunikasi mengandungi isu dan hubungan
  • Hubungan menerangkan kandungan (metacommunication)


Sebagai makhluk yang berpikir dan, karenanya, berbicara, komunikasi bagi manusia merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Komunikasi baginya adalah sarana untuk berinteraksi dengan ”yang diluar dirinya”. Terlebih saat ini, dengan percepatan teknologi tanpa henti, utamanya teknologi informasi, komunikasi adalah sebuah keniscayaan.


Dalam pengertian sederhana, komunikasi dapat diartikan sebagai penyampaian ”sesuatu yang sama” dari ”satu pihak” kepada ”pihak lain”. Dari sini, setidaknya, ada empat hal yang dibutuhkan dalam komunikasi; penyampaian atau yang dapat dipahami sebagai proses komunikasi; sesuatu yang sama atau pesan yang ingin disampaikan; pihak pertama (komunikator) yang berkepentingan untuk menyampaikan pesan dimaksud; dan pihak kedua (komunikan) yang menjadi tujuan penyampaian pesan. 

Dengan analisis yang lebih mendalam dapat diketahui bahwa pesan yang merupakan inti komunikasi terdiri dari dua aspek; isi pesan yang ingin disampaikan (the content of the message) dan lambang yang dijadikan sarana untuk menyampaikan pesan tersebut (symbol).


Pengertian komunikasi juga dapat kita pahami dalam tiga konseptualisasi yang berbeda. Pertama, komunikasi yang dipahami sebagai tindakan satu arah yang berjalan linear dari komunikator kepada komunikan. Pengertian ini sesuai dalam beberapa kasus, seperti pidato dan komunikasi massa yang tidak melibatkan secara aktif pembaca atau pemirsanya, namun tidak sesuai untuk bentuk komunikasi interaktif. Kedua, komunikasi dipahami sebagai kegiatan interaktif yang melibatkan kedua belah pihak secara aktif. Jika yang satu berfungsi sebagai pemberi pesan, yang lain berfungsi sebagai penerima pesan. Demikian pula sebaliknya secara bergantian. 

Namun konseptualisasi yang kedua inipun tidak lepas dari kelemahan karena mengabaikan kemungkinan bahwa orang yang sama dapat berfungsi sebagai pemberi dan penerima pesan pada saat yang sama. Ketiga, komunikasi dipahami sebagai kegiatan transaksional yang dalam konteks ini berarti bahwa pihak-pihak yang terlibat komunikasi berada dalam kondisi interdependen. Dalam pengertian ketiga ini, komunikasi tidak hanya terbatas dalam komunikasi verbal tapi juga mencakup komunikasi nonverbal yang mencakup, misalnya, ekspresi wajah.

Lebih jauh lagi, bahkan dalam tataran individu, manusia tidaklah lepas dari komunikasi. Didalam dirinya, manusia mengalami komunikasi dengan dirinya yang disebut dengan komunikasi intrapersonal. Komunikasi intrapersonal pada hakikatnya adalah jenis komunikasi ditinjau dari segi tatanannya (Effendy, 2003:53).


Tatanan disini adalah proses komunikasi ditinjau dari segi jumlah komunikan yang terlibat didalamnya. Secara umum tatanan komunikasi terbagi menjadi tiga, komunikasi pribadi (personal communication), komunikasi kelompok (group communication), dan komunikasi massa (mass communication). Dalam makalah ini hanya akan dibahas salah satu cabang komunikasi pribadi yaitu komunikasi intrapersonal.


Disamping itu akan pula dijelaskan komunikasi intrapersonal dalam perspektif Islam, yang dalam makalah hal ini pemaparannya lebih ditekankan pada kajian tradisi Islam bukan pada kajian sumber utama Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits. 

Tentang hal ini, selain pemaparan deskripsi yang diberikan dalam tradisi Islam tentang komunikasi intrapersonal sebagai proses pengolahan informasi, penulis juga akan berusaha untuk mencari paralelitas antara komunikasi intrapersonal modern dengan komunikasi intrapersonal dalam khazanah Islam.


KOMUNIKASI INTRAPERSONAL
Menurut Rakhmat (2000:49) komunikasi intrapersonal adalah proses pengolahan informasi. Proses ini melewati empat tahap; sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Proses pertama dari komunikasi intrapersonal terjadi pada saat sensasi terjadi. Sensasi, yang berasal dari kata sense, berarti kemampuan yang dimiliki manusia untuk mencerap segala hal yang diinformasikan oleh pancaindera. Informasi yang dicerap oleh pancaindera disebut stimuli yang kemudian melahirkan proses sensasi. Dengan demikian sensasi adalah proses menangkap stimuli.


Kapasitas indrawi yang dimiliki setiap orang berbeda-beda yang, karenanya, memungkinkan terjadinya perbedaan sensasi. Namun secara umum ada ambang batas tertentu yang didalamnya pancaindera manusia dapat menyerap informasi. Mata hanya dapat menyerap gelombang cahaya antara 380 sampai 780 nanometer. Telinga hanya mampu menerima getaran suara dalam frekuensi antara 20 hertz sampai 20 kilohertz. Tubuh manusia hanya sanggup bertahan dengan normal pada suhu udara antara 10 derajat celcius sampai 45 derajat celcius (ibid, 50). Rangsangan dari luar ini yang dicerap sensasi disebut sebagai stimuli eksternal yang merupakan faktor situasional yang berpengaruh pada sensasi. 

Disamping itu juga terdapat faktor internal yang dapat pula memengaruhi sensasi yaitu faktor personal. Dalam hal ini, faktor personal adalah pengalaman, lingkungan budaya, dan kapasitas indrawi masing-masing individu yang berbeda (ibid, 51).


Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Secara sederhana persepsi adalah memberikan makna pada hasil cerapan panca indera. Selain dipengaruhi oleh sensasi yang merupakan hasil cerapan panca indera, persepsi dipengaruhi juga oleh perhatian (attention), harapan (expectation), motivasi dan ingatan (Desiderato dalam ibid, 2000:51).

Secara umum tiga hal yang disebut pertama terbagi menjadi dua faktor personal dan faktor situasional. Penarik perhatian yang bersifat situasional merupakan penarik perhatian yang ada di luar diri seseorang (eksternal), seperti intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan. Secara internal, ada yang dinamakan perhatian selektif (selective attention) yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor biologis, sosiopsikologis, dan sosiogenis (ibid, 52-4).

Penyimpanan informasi yang dihasilkan dan pemanggilan kembali (recalling) dilakukan dalam memori. Dalam melakukan fungsinya memori melakukan tiga hal: perekaman (encoding), penyimpanan (storage) dan pemanggilan (retrieval). Tahap pertama adalah pencatatan informasi melalui reseptor indera dan saraf internal. Tahap kedua terbagi terbagi menjadi dua: penyimpanan aktif (dengan memberi informasi pada apa yang telah kita terima) dan penyimpanan aktif. Tahap terakhir terjadi ketika kita membutuhkan ingatan yang telah tersimpan dengan mengingat kembali hal itu (Mussen dan Rosenweig dalam ibid, 63).

Dari tiga tahap memori, hanya tahap terakhir yang dapat diketahui dan, karenanya, dapat diklasifikasi. Pada tahap terakhir ini memori terbagi menjadi empat jenis. Pertama, pengingatan (recall) yaitu proses menghasilkan kembali fakta dan informasi secara apa adanya, seperti ketika seseorang ditanya, ”Apa saja jenis ikan laut yang termasuk mamalia”. 

Kedua, pengenalan (recognition) adalah mengenal kembali sebagian informasi yang sebagiannya telah dikenal, seperti pertanyaan yang disajikan dalam bentuk pilihan ganda (multiple choice). Ketiga, pembelajaran ulang (relearning) adalah mempelajari kembali sesuatu yang pernah dipelajari. Seseorang yang pernah mempernah mempelajari suatu hal dan kemudian mempelajarinya kembali dua puluh lima persen lebih cepat menghafal. Keempat, redintegrasi (redintegration) adalah rekonstrusi masa lalu dari satu petunjuk memori kecil, seperti kenangan yang muncul saat anda melewati satu tempat yang biasa dilewati teman anda (ibid, 64).

KOMUNIKASI INTRAPERSONAL: PERSPEKTIF TRADISI ISLAM
Komunikasi intrapersonal yang diartikan sebagai proses pengolahan informasi dalam jiwa manusia juga dikenal dalam tradisi Islam. Penjelasan tentang potensi-potensi jiwa (al-quwa al-bathinah) seringkali didahului oleh penjelasan tentang kemampuan-kemampuan eksternal (al-quwa al-bathinah). Hal ini dapat terlihat, misalnya, ketika al-Ghazali (1988:60-6) menjelaskan tentang kemampuan mencerap (al-quwa al-mudrikah) yang didahului dengan penjelasan tentang indera-indera eksternal.

Dalam tradisi Islam keberadaan indera-indera internal (internal senses), yang melaluinya komunikasi intrapersonal terjadi, diketahui melalui intuisi (al-wijdan) dalam pengertian introspeksi (al-Attas, 2001:150). Secara berurutan indera internal terdiri dari lima komponen; communis sensus (al-hiss al-musytarak); yang mencerap bentuk, kemampuan melukiskan (al-quwa al-khayaliyyah); yang menyimpan hasil cerapan al-hiss al-musytarak, kemampuan menaksir (al-quwa al-wahmiyyah); yang mencerap hal-hal yang tidak sensibel, kemampuan mengingat (al-quwa al-dzakirah); yang menyimpan hasil cerapan al-quwa al-khayaliyah, dan kemampuan berdaya cipta (al-quwa al-mutakhayyilah); yang memroses hasil cerapan dan simpanan dari keempat daya diatas (ibid: 151-3 dan al-Ghazali, 1988:64).

Al-Ghazali memberi ilustrasi untuk membuktikan keberadaan al-hiss al-musytarak, ketika anda melihat air menetes dengan cepat yang anda ’lihat’ adalah garis lurus dan ketika anda melihat titik rapat yang melingkar yang anda ’lihat’ adalah garis melingkar. Dan hal itu adalah kenyataan (‘ala sabil al-musyahadah) bukan khayalan (la ‘ala sabil al-takhayyul) (1988:64). Secara sederhana dapat dipahami bahwa al-hiss al-musytarak adalah, misalnya, daya yang ’menyatukan’ objek yang dilihat dua mata kita sehingga objek itu tetap terlihat satu. Hasil cerapan al-hiss al-musytarak disimpan dalam kemampuan melukiskan (al-quwwah al-khayaliyah).

Dalam menjelaskan daya lukis (al-quwwah al-khayaliyah), al-Ghazali mengilustrasikan bahwa ketika kita melihat sesuatu di depan kita dan beberapa saat kemudian sesuatu itu menghilang maka kita masih bisa ’melihatnya’ seolah-olah sesuatu itu masih di depan kita (ibid,65). Jadi kemampuan melukiskan (al-quwwah al-khayaliyah) yang dimiliki manusia menyimpan citra yang telah diserap oleh al-hiss al-musytarak.

Daya estimasi (al-quwwah al-wahmiyah) adalah kemampuan, yang dimiliki manusia dan hewan, untuk memahami makna-makna yang tak terlihat (nonsensible meanings). Seekor kambing dapat memahami bahwa serigala adalah musuhnya, sedangkan permusuhan bukanlah sesuatu yang sensibel. 

Daya estimasi adalah tempat yang didalamnya opini dan pendapat terbentuk. Opini yang terbentuk melalui daya estimasi ini tidak menggunakan analisis intelektual tanpa menggunakan citra yang tersimpan dalam ingatan yang diasosiasikan dengan masa lalu (Op. cit, 2001:152). Tanpa kendali yang memadai dari pikiran (intellect), daya ini adalah sumber perbuatan destruktif yang dilakukan manusia, karena daya ini memiliki peranan besar dalam mengendalikan tindakan hewan dan manusia (Ibn Sina, 1956:177).

Daya ingat (al-quwwah al-dzakirah/al-hafizhah) adalah tempat penyimpanan makna-makna yang dihasilkan oleh daya estimasi. Hubungan antara daya ingat (al-quwwah al-dzakirah/al-hafizhah) dengan makna-makna yang dihasilkan daya estimasi (al-quwwah al-wahmiyah) adalah sama dengan hubungan antara kemampuan melukiskan (al-quwwah al-khayaliyah) dengan benda-benda sensibel yang citranya terbentuk dalam al-hiss al-musytarak (Op. cit, 2001:153).

Daya cipta (al-quwwah al-mutakhayyilah) berfungsi untuk mengklasifikasi dan mengelola citra yang diserap oleh al-hiss al-musytarak. Dalam kaitannya dengan jiwa manusia, daya ini memiliki duafungsi; berfungsi menghasilkan kemampuan artistik dan teknik bila terhubung dengan kemampuan melukiskan (al-quwwah al-mutakhayyilah) dan berfungsi sebagai daya pikir (al-quwwah al-mufakkirah) bila terhubung jiwa manusia. Ketika terhubung dengan jiwa manusia, ia melakukan perenungan (cogitative). Secara umum ia adalah pengelola data akal teoritis dengan menyusunnya sedemikian rupa hingga menghasilkan pengetahuan (ibid, 153-4).

Al-hiss al-musytarak adalah penerima stimuli dari indera eksternal yang paralel dengan sensasi yang didefinisikan sebagai proses menangkap stimuli. Fungsi memori sebagai proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali setara dengan al-quwa al-khayaliyyah, yang menyimpan hasil cerapan al-hiss al-musytarak, dan al-quwa al-dzakirah/al-hafizhah, yang menyimpan hasil cerapan daya estimasi. Persepsi, sampai batas tertentu, sama dengan al-quwa al-wahmiyah, yang menghasilkan makna-makna. Al-quwa al-mutakhayyilah, yang mengelola semua hasil cerapan, sejajar dengan berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar